Setelah sahur, pemandangan pagi buta yang membutakan, melihat serangkaian peristiwa kecil di layar 5 inchi benda elektronik masa kini. Berbagai macam foto profil teman2 sosial media termasuk dia yang berusaha saya spesialkan di sekalinya sisa hidup ini.
Berawal dari rasa ingin menyadarkan, ingin diperhatikan, dan ingin diistimewakan, sebuah komentar saya lemparkan karena dorongan rasa penasaran dan curiga cemburu brutal. Tak terencanakan, dibalas dengan sautan pedas dari sana, "lebay", "berlebihan" dan apalah akhirnya tertuju pada saya.
Manusia memang diciptakan untuk pandai berperan, pandai memerankan tokoh yang sebenarnya sudah terseting di dalam diri mereka masing2. Ketika peran mereka mulai mereka perankan dengan menjiwai, maka mereka akan benar2 total menjalani hidup. Seperti saya misalkan, mungkin peran saya sampai dengan saat ini adalah sebagai "sang peluap rasa". Ketika saya merasakan suatu rasa maka secara otimatis otak saya akan melancarkan agresi untuk segera mengatur luapan2 apa saja yang akan saya keluarkan.
Beberapa waktu yang lalu saya secara otomatis meluapkan rasa cemburu, namun beberapa waktu kemudian saya menyadari bahwa luapan tersebut malah membuat dia jengkel dan tidak nyaman. Sungguh pola tersadar yang selalu telat. Cemburu tanda sayang, namun yang kita cemburuin kadang malah ngerasa tidak nyaman dengan kita, mereka merasa terusik dan risih dengan kecemburuan kita.
Ini bukti bahwa cemburu pada level meluap itu sangat buruk. Namun cemburu juga ada baiknya, jika dengan takaran yang pas.
Sesal tinggal sesal, yang sana sudah terlanjur sebal, sudah terlanjur kesal, jengkel dan "iuuuhhh" pastinya. Semoga menjadi pelajaran buat kita semua bahwa segala sesuatu memang harus dipikirkan dulu dan ditakar dulu, supaya selalu ada kata "pas" dalam setiap hal dan keadaan.
"When Jealous Gone Wrong... You just need to apologize and promise will not do that again"
No comments:
Post a Comment