Saturday, August 27, 2011

Hukum Onani/Masturbasi Bagi Pria dan Wanita Menurut Beberapa Ulama

Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas
oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan
tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan
hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya.
Wallahu a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad- Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ .إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِھِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَیْمَانُھُمْ فَإِنَّھُمْ غَیْرُ مَلُومِینَ .وَالَّذِینَ ھُمْ لِفُرُوجِھِمْ حَافِظُونَ
فَأُولَئِكَ ھُمُ الْعَادُونَ
 
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31) Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suamiistri atau tuan dan budak wanitanya. Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

لَیْھِ یَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْیَتَزَوَّجْ فَإِنَّھُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ یَسْتَطِعْ فَعَ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّھُ لَھُ وِجَاءٌ
 
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq
‘alaih) Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.” Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:

.…وَالنَّاكِحُ یَدَهُ … :ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِیْنَ :سَبْعَةٌ لاَ یَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَیْھِمْ یَوْمَ الْقِیَامَةِ وَلاَ یُزَكِّیْھِمْ وَیَقُوْلُ
الْحَدِیْثَ
 
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada
Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya
dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana
ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh
sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang
masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk
melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu
yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah,
yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad
rahimahullahu memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang
dianggap sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi
persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah (hal. 420-
421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus
dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang
memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:

یَسْتَطِعْ فَعَلَیْھِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّھُ لَھُ وِجَاءٌ فَمَنْ لَمْ
 
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan
kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani,
tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-
Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani
dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan
kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai
adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya
menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam
Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat
dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya
menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang
digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam
Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.”
Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para pemuda dan pemudi umat ini
untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan
kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam,
walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah
sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina
merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu
sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan
bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat
silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan
haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-
31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan
syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu
kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun
hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah
dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan
hujjah. Di antaranya:
.…وَالنَّاكِحُ یَدَهُ … :ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِیْنَ :سَبْعَةٌ لاَ یَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَیْھِمْ یَوْمَ الْقِیَامَةِ وَلاَ یُزَكِّیْھِمْ وَیَقُوْلُ
الْحَدِیْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi)
….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya
adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun
melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau
untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu
mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama
mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama
mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina
sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke
dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang
dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas
diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar
berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah,
dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’
Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang
diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak
lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau
lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu
dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil
yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi.
Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia
pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim
berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan
peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam majelis beliau. Silakan lihat pula
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin
Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh AlImam
Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi
Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259),
Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul
Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
 
Oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari
Judul : Hukum Onani


No comments:

Post a Comment